PENDAHULUAN
BAB I
Latar
Belakang
Dimana menyebarkan ilmu yang
mehidupkan islam tidak kalah nilainya dengan jihad fi sabilillah, di saat
ilmu pendekatan pada agama ini tidak mendapat respon karena situasi dan
kondisi, seperti ilmu mushthalah hadits. Padahal ilmu ini tumbuh di zamannya
atau atas dasar Mahabbatun Nabi yang kuat dan menunjukan nilai keimanan yang
tinggi, tumbuh dari tanda kecintaan pada nabi yang beragam dan berbeda-beda
sampai menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri dari sekian disiplin ilmu islam
yang lain. Tetapi ilmu Mushthalah Hadits akhirnya hanya menjadi sebuah kenangan
bukan renungan, karena tidak bias lagi di operasionalkan seperti di zamannya
yang menyimpulkan dijaganya hadits-hadits rosululloh SAW oleh Allah seperti
dijaganya Al-qur’an sebagai sumber kebenaran yang mutlak. Oleh karena itu untuk
menjaga hadits-hadits di perlukannya sebuah ilmu untuk memahami hadits secara
mendalam yaitu dengan adanya Ulumul Hadits.[1]
Diawal pertumbuhan ilmu hadits, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu
pada kekuatan hapalannya tanpa menuliskan hadits yang mereka hapal sebagaimana
yang mereka lakukan dengan Al-Qur’an. Kemudian ketika sinar Islam mulai menyebar keberbagai penjuru negeri, wilayah
kaum muslimin mulai meluas, para sahabat Nabi
pun menyebar disejumlah negeri hingga sebagiannya sudah mulai meninggal dunia
serta hapalan
kaum muslimin yang datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai merasakan pentingnya mengumpulkan hadits dan
menuliskannya karena ditakutkan ilmu-ilmu hadits Rasulullah SAW akan lenyap
seiring berjalannya waktu dengan meninggalnya para sahabat Rasulullah SAW.[2]
Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian hadits??
2. Bagaimana
sejarah awal di bukukannya hadits??
BAB II PEMBAHASAN
PENGERTIAN HADITS
Kata
al-hadits adalah kata mufrod, yang jama’nya adalah al-ahadits dan dasarnya adalah
tahdits, artinya “pembicaraan”. Dari sisi bahasa, kata hadits memiliki beberapa
arti, diantaranya ialah :
a.
al-jadid, artinya : “yang baru”, lawan kata al-qadim artinya : “yang lama”,
dalam arti ini menunjukan adanya waktu dekat dan singkat.
b.
al-thariq artinya :”jalan”, yaitu
c.
al-khabar, artinya :”berita”.
d.
al-sunnah, artinya “perjalanan”.
Adapun menurut
istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi sesuai dengan latar
belakang disiplin keilmuan masing-masing, sebagaimana perbedaan antara ahli
ushul dan ahli hadits dalam memberikan definisi al-hadits, yaitu:
a. Ahli
hadits:
اقوال
النبي صلي الله عليه وسلم وافعاله واحواله
“segala perkataan Nabi
saw, perbuatan dan hal ihwalnya”
ما
اضيف الي النبي صلي الله عليه وسلم قولا او فعلا او تقريرا او صفة
“sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun
sifat beliau”
Dari
definisi tersebut dapat dimengerti bahwa haidts meliputi biografi Nabi saw,
sifat-sifat yang melekat padanya, baik berupa fisik maupun hal-hal yang terkait
dengan masalah psikis dan akhlak keseharian Nabi, baik sebelum maupun sesudah
terutus sebagai Nabi.
b. Ahli
Ushul:
اقوال
النبي صلي الله عليه وسلم وافعاله وتقريراته التي تثبت الاحكام وتقررها
"Semua perkataan
Nabi saw, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’ dan
ketetapannya".
Dari
definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hadits adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi saw, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang
berhubungan erat dengan hukum-hukum atau ketetapan Allah yang disyari’atkan
kepada manusia. Ini berarti segala sesuatu selain hal yang telah disebutkan
tidak masuk dalam pengertian hadits.
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADITS
Dalam Islam
kedudukan hadits sebagai sumber ajaran islam, menempati posisi kedua setelah
Al-Qur’an. Ia bukan saja menjadi penguat dan penjelas A-Qur’an, tetapi juga
dijadikan sebagai dasar penetapan hukum baru yang tidak atau belum dijelaskan
oleh a-Qur’an.
Mengingat
posisinya yang demikian penting, semntara keberadaannya tidak seperti al-Qur’an
yang sifatnya qath’iyyah al-wurud, maka tidak mengherankan jika kemudian hari
keberadaannya menjadi sasaran serangan oleh mereka yang tidak senang terhadap
islam(misalnya Goldziher, 1850-1912M) dengan meragukan akan keberadaan hadits
berasal dari Rosulullah saw, bahkan Joseph Schacht(1902-1969M) menyatakan bahwa
tidak satupun hadits yang otentik dari Nabi saw, khususnya hadits-hadits
tentang hukum.
Selanjutnya di
dalam kalangan Islam sendiri, ditemukan kelompok yang bisa dikenal dengan
istilah inkarussunnah yang lahir di Mesir dan Irak, yang yidak
menjadikan hadits sebagai sumber ajaran Islam. Hal ini membuat ilmu-ilmu hadits
menampakkan titik urgensi dirinya dalam mempertahankan dan mempertanggung
jawabkan otentitas hadits secara ilmiah, seperti ilmu rijal al-hadits, takhrij
al-hadits, mushtalah hadits dan lain sebagainya.
Sedangkan
untuk dapat mengetahui secara kronologis perkembangan hadits, mulai dari masa
Nabi saw sampai pertengahan abad VII H, para ahli membaginya kedalam tujuh
periode, yaitu:
Abad
I H,
terdiri dari tiga periode
Pertama,
dikenal dengan sebutan “ashrul wahyi wattaqwim (عصر الوحي والتقوين), yaitu turun wahyu dan pembentukkan
masyarakat Islam.
Kedua,
yaitu masa Khulafa’ur Rasyidin yang dikenal dengan sebutan”zamanut
tatsabbuti wal iqlali minarriwayah (زمن التثبت
والاقلال من الرواية) yaitu masa pengokohan dan penyederhanaan
riwayat.
Ketiga,
masa sahabat kecil dan tabi’in besar, dikenal dengan sebutan “zaman
intisyari riwayati ilal am-shar (زمن انتشار
الرواية الى الامصار) yaitu masa tersebarnya riwayat-riwayat
hadits ke kota-kota.
Abad
II H
termasuk periode ke empat, yaitu masa pemerintahan kholifah Umar bin Abdul
Aziz, kemudian dikenal dengan sebutan “ashrul kitabi wattadwin (عصر الكتاب وتدوين),yakni masa penulisan dan masa
mengkodifikasi hadits-hadits. Pada masa ini masih bercampur perkataan Nabi
dengan perkataan sahabat.
Abad
III H termasuk di dalamnya priode kelima, yang disebut
dengan “ashruttajridi wattashrih watanqih”(عصر
التجريد والتصريح وتنقه), yaitu masa penyaringan hadits dan
pensyarahannya. Sedang orang pertama yang melakukan penyaringan hadits shohih
ialah Ishak Ibn Rahawaih yang kemudian dilanjutkan oleh Imam al-Bukhori dengan
kitab shohihnya, lalu dilanjutkan oleh muridnya bernama Imam Muslim.
Abad
ke IV H yang pada umumnya disebut dengan istilah “ashru
al-tahdzibi wa al-istidraki wa al-ajma’(iعصر
التهديب والاستدراك والاجمع), yaitu masa pembersihan, penyusunan,
penambahan dan pengumpulan. Dalam abad ini telah masuk juga periode keenam.
A. EKSISTENSI
HADITS MASA NABI SAW.
Pada
dasarnya masalah penulisan hadits pada masa Nabi saw sebagai periode awal,
dapat dilihat dari adanya dua bentuk riwayat atau hadits, yaitu :
Pertama:
riwayat yang menerangkan adanya larangan penulisan hadits.
Kedua:
riwayat hadits tentang kebolehan menulis hadits.
Dalam
menanggapi dua macam hadits tentang larangan dan kebolehan tersebut, diantara
para ulama’ berbeda pandangan, yaitu:
a) Imam
al-Bukhori dan lainnya bependapat bahwa hadits tentang larangan menulis hadits
diatas adalah mauquf, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
b) Al-Romahrumuzi
mengatakan bahwa larangan tersebut terjadi pada masa permulaan Islam, dan
keadaan umat islam masih sangat sedikit yang bisa menulis dan belum dapat
membedakan antara al-Qur’an dan hadits, sehingga beliau saw khawatir akan
terjadinya percampuran.
c) Dan
masih banyak lagi ulama’ yang berpendapat tentang larangan dan kebolehan
menulis hadits.
B. EKSISTENSI
HADITS MASA SAHABAT DAN TABI'IN.
Periode
ini terjadi pada masa khulafa’urrasyidin atau masa sahabat besar. Dalam masa
ini , masalah penulisan hadits belum dianggap suatu hal yang mendesak untuk
dilaksanakan, hadits masih tetap dihafalkan dan upaya-upaya penulisan masih
dianggap mengkhawatirkan akan menganggu perhatian mereka terhadap penulisan
al-Qur’an lantaran keterbatasan tenaga dan sarana.
Dari
faktor itulah , Abu Bakar sebagai kholifah pertama mengeluarkan kebijakan tidak
mengizinkan para sahabat menulis haidts dan beliau tidak akan menerima hadits
tersebut apabila tidak mendatangkan saksi, bahkan beliau memerintahkan untuk
membakar 500 buah haidts yang telah dicatatnya.
Selanjutnya
, melihat adanya faktor kekhawatiran perhatian para sahabat terhadap progam
penulisa al-Qur’an terganggu, lalu niat Umar bin Khatab untuk membuat progam
penulisan hadits dibatalkan, apalagi mayoritas sahabat tidak sepakat dengan
usaha tersebut.
Sekalipun
demikian, penulisan haidts tetap saja dilakukan oleh para sahabat, diantaranya
ialah Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Tholib dan ‘Aisyah dan lainnya.
Dengan demikian
dapatlah difahami bahwa semangat para sahabat dalam menyampaikan hadits kepada
para sahabat lain saat itu terlihat sangat tinggi, sekalipun kebijakan yang
telah diambil oleh pemerintah sangat hati-hati dan teliti, sehingga seorang
yang telah menerima hadits tidak harus menyampaikannya kepada orang lain
kecuali diperlukan.
Semangat
yang tinggi dari para sahabat dalam menyampaikan hadits lebih disebabkan adanya
dorongan yang kuat untuk selalu menyebarluaskan ajaran Islam sesuai dengan
perintah Nabi saw. Sekalipun demikian, yang perlu diperhatikan adalah sikap
kehati-hatian penerimaan dan penyampaian hadits dengan waspada dan meneliti
lebih dahulu apakah benar dari Rosulullah, sehingga setiap apa yang didengar
harus difahami dan di mantabkan baru kemudian disampaikan kepada yang lain.
C. EKSISTENSI
HADITS PADA ABAD II H.
Pada
masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya, hanya saja persoalan yang
dihadapi mereka agak berbeda, sebab pada masa ini al-Qur'an sudah terkumpul
dalam mushaf, sedang para periwayat hadits dari kalangan sahabat sudah tersebar
diberbagai daerah, apalagi setelah pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah.
Kemudian ketika
pemerintahan dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz terbentuk lembaga kodifikasi
hadits secara resmi[3],
dengan melalui instruksinya kepada para pejabat pemerintahan yang ada di
daerah-daerah.
Sedangkan yang
melatarbelakangi kholifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan dan
mengkodifikasikan hadits pada waktu itu antara lain :
1. Banyak
penghafal hadits yang meninggal dunia, baik karena sudah lanjut usia maupun
gugur sebagai pahlawan perang.
2. Al-Qur'an
sudah berkembang begitu luas dalam masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi
mushaf, karenanya tidak perlu dikhawatirkan lagi hadits bercampur dengan
al-Qur'an.
3. Islam
telah mulai melebarkan syi'arnya melampaui jazirah arab, maka hadits sangat
diperlukan sebagai penjelas al-Qur'an[4].
Dari
kenyataan itulah, maka pada masa ini dikenal dengan sebutan masa
pembukuan/'ashr al-tadwin, sehingga pada abad II H ini tersusunlah kitab-kitab
koleksi hadits dari para kolektornya.
D. EKSISTENSI
HADITS PADA ABAD III H.
Masa
ini disebut dengan masa 'ashruttajjridi watashrih watanqih, yaitu masa
penyaringan pensyarahan hadits, terutama pada masa pemerintahan dipegang oleh
dinasti Abbasiyyah, mulai dari alMa'mun sampai al-Muqtadir.
Hal tersebut
dilakukan lantaran masa sebelumnya belum berhasil melakukan pemisahan beberapa
hadits mauquf dan maqthuk dari hadits marfu', hadits dla'if dari hadits shahih,
bahkan terkesan hadits mudlu' bercampur dengan hadits shahih.
Sekalipun
keadaan umat Islam saat itu sedang menghadapi ujian dan fitnah yang sangat
hebat, lahirlah ulama besar. Dengan ketekunan dan semangat dalam usaha untuk
menjaga kemurnian ajaran Islam dengan berbagai cara, sehingga masa ini dianggap
sebagai masa paling sukses dalam menjalankan progam pembukuan hadits, sebab mereka
telah berhasil dalam beberapa hal:
a).
Memisahkan hadits-hadits Nabi dari yang bukan hadits( fatwa sahabat dan
tabi'in) melalui kaidah-kaidah yang elah ditetapkan.
b).
Mengadakan penyaringan secara ketat terhadap apa saja yang dikatakan hadits
Nabi dengan melakukan penelitian pada matan dan matarantai sanadnya, sekalipun
dalam penelitian selanjutnya masih ditemukan terselipnya hadits yang dlo'if
pada kitab-kitab shahih karya mereka.
E. EKSISTENSI
HADITS PADA ABAD IV H.
Perlu diketahui bersam bahwa pada
masa ini, ditemukan perbedaan yang mencolok dalam meletakkan sistem penulisan
karya ilmiah, khususnya dalam bidang hadits, sebab pada masa ini sudah terjadi
pemisahan dua pola dan sistem pemikiran di kalangan para ulama, bahkan menjadi
awal terjadinya pemisahan antara kelompok ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin,
yaitu :
a).
Mutaqaddimin ialah ulama' yang hidup sebelum tahun 300 H.
Sistem
penulisan hadits-hadits mereka dalam kitab-kitab koleksinya dengan menggunakan
pola mendengar hadits langsung dari para guru mereka, lalu melakukan penelitian
sendiri terhadap matan hadits dan perawinya.
b).
Mutaakhirin, yaitu ulama' yang hidup setelah tahun 300 H.
Sistem penulisan
hadits-hadits koleksi mereka dalam kitab-kitab koleksinya menggunakan pola
menghimpun hadits-hadits dengan tetap berpegang pada kitab-kitab koleksi hadits
yang sudah ada, sehingga usaha mereka terbatas hanya pada penyusunan
hadits-hadits secara lebih sistematis atau hanya membuat resume atau mensyarahi
kitab-kitab yang sudah ada.
Sekalipun demikian, pada
abad ke III dalam periode ke-IV ini masih saja ditemukan ulama' yang
kualitasnya seperti ulama' sebelumnya, artinya memiliki kemampuan untuk
menghimpun hadits-hadits atas usaha sendiri tanpa mengutip dari kitab-kitab
yang sudah ada, meski jumlahnya tidak banyak, seperti:
-
Al-Hakim dengan
karyanya al-Mustadrak 'Ala al-Shahihaini.
-
Al-Daro Quthni,
karyanya al-Ilzamat.
-
Ibnu Hibban,
karyanya al-Musnad al-Shahih dan al-Anwa' wa al-Taqasim.
-
Al-Thabari,
karyanya al-Mu'jam.
F. EKSISTENSI HADITS PADA ABAD V SAMPAI SEKARANG.
Perlu diketahui bahwa pada tahun
656 H, pemerintahan Abbasiyyah pindah ke tangan bangsa Turki dengan pusat
pemerintahannya pindah ke Kairo, Mesir, kemudian pada akhir abad ke VII H,
semua daerah Islam dapat dikuasainya kecuali daerah barat Maroko, bahkan
pertengahan abad ke IX H berhasil merebut kota Constatinopel dan Mesir, dan
sejak itulah raja Turki menggunakan sebutan khalifah.
Akan tetapi setelah imperalisme
politik divide et empire menaklukan Isalm, umat Islam menjadi budak sehingga
membuat umat Islam minder bahkan para ulama' tidak dapat bebas melakukan
komunikasi dengan yang lain.
Berhubungan dengan situasi dan
kondisi seperti itu, penyampaian ajaran Nabi saw tidak dapat dilakukan secara
langsung melalui lisan, sehingga sistem surat menyurat dan ijazah dipakai oleh
mereka, akibatnya kegiatan penelitian terhadap para perawi hadits terhenti.
Sekalipun demikian, masih saja
ditemukan ulama' yang berani berkunjung ke berbagai daerah untuk mendeteksi
hadits dengan cara duduk di dalam masjid di setiap hari jum'ah, lalu
menguraikan hadits tentang nilai dan kandungan sanadnya kepada para jama'ah dan
para jama'ah mencatatnya, seperti yang dilakukan oleh Zainuddin al-'Iraqy(w
806b H), Ibnu Hajar(w 858 H), al- Syakhawi(murid Ibnu Hajar).
BAB
II PENUTUP
KESIMPULAN
Dari hasil penyusunan makalah ini
dapat di simpulkan bahwa pengertian Hadits ialah sesuatu yang di sandarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan ketetapan, atau yang lain
misalnya berkenaan dengan sifat fisik, budi pekerti dan sebagainya. Sunnah
adalah aktifitas Nabi Saw yang yang di laksanakan secara terus menerus dan di
lestarikan oleh para sahabat. Khobar adalah segala sesuatu yang di sandarkan
kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat. Atsar
adalah berarti sesuatu yang hanya tertentu pada apa yang datang dari sahabat
dan sebawahnya. Hadis Qudsi adalah apa apa yang dihubungkan oleh rosulullah
kepada Allah selain al quran. Atau seperti perkataan sahabat yang menyebutkan
“bahwa Rasulullah saw bersabda dari apa yang beliau riwayatkan dariTuhannya.”[5]
Sebagai kesimpulan bahwa adanya
larangan untuk menulis hadits pada masa wahyu masih turun, adalah merupakan
sikap kehati-hatian Rasulullah dalam menjaga kemurnian al-qur’an yang diikuti
oleh para Khulafa Rasyidin dengan memberikan batasan secara ketat dalam
penulisan hadits. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan
menulis hadits. Itupun dalam rang memenuhi kebutuhan ummat akan suatu
permasalah agama yang belum diketahui. Sehingga kita dapat melihat kegiatan
tulis-menulis hadits lebih pada surat kepada Sahabat yang lain. Ataupun
hadits-hadits Nabi ditulis sebagai koleksi pribadi Sahabat.[6]
DAFTAR
PUSTAKA
Ma'shum Zein Muhammad, 2007, Ulumul
Hadits & Mustholah Hadits
Muhammad 'Ajjaj al-Khatib,
al-Sunnah Qablat Tadwin,(Beirut, Libanon, Maktabah Dar al-Fikr, Cet: 1997)
http://aernieel.blogspot.com/2013/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
http://makalah-berbagi.blogspot.com/2012/05/makalah-ulumul-hadits-sejarah-penulisan.html
[1] http://aernieel.blogspot.com/2013/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
[2] http://makalah-berbagi.blogspot.com/2012/05/makalah-ulumul-hadits-sejarah-penulisan.html
[3] Ajjaj,
Ushul...Op-Cit, hal:172
[4] Ajjaj,
Ushul...Op-Cit, hal:185
[5] http://aernieel.blogspot.com/2013/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
[6] http://makalah-berbagi.blogspot.com/2012/05/makalah-ulumul-hadits-sejarah-penulisan.html
subhanallah
BalasHapus