Minggu, 10 November 2013

PENGERTIAN HADITS DAN SEJARAH KODIFIKASINYA




PENDAHULUAN

 BAB I

Latar Belakang
Dimana menyebarkan ilmu yang mehidupkan islam tidak kalah nilainya dengan jihad fi sabilillah, di saat ilmu pendekatan pada agama ini tidak mendapat respon karena situasi dan kondisi, seperti ilmu mushthalah hadits. Padahal ilmu ini tumbuh di zamannya atau atas dasar Mahabbatun Nabi yang kuat dan menunjukan nilai keimanan yang tinggi, tumbuh dari tanda kecintaan pada nabi yang beragam dan berbeda-beda sampai menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri dari sekian disiplin ilmu islam yang lain. Tetapi ilmu Mushthalah Hadits akhirnya hanya menjadi sebuah kenangan bukan renungan, karena tidak bias lagi di operasionalkan seperti di zamannya yang menyimpulkan dijaganya hadits-hadits rosululloh SAW oleh Allah seperti dijaganya Al-qur’an sebagai sumber kebenaran yang mutlak. Oleh karena itu untuk menjaga hadits-hadits di perlukannya sebuah ilmu untuk memahami hadits secara mendalam yaitu dengan adanya Ulumul Hadits.[1]
Diawal pertumbuhan ilmu hadits, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu pada kekuatan hapalannya tanpa menuliskan hadits yang mereka hapal sebagaimana yang mereka lakukan dengan Al-Qur’an. Kemudian ketika sinar Islam mulai menyebar keberbagai penjuru negeri, wilayah kaum muslimin mulai meluas, para sahabat Nabi pun menyebar disejumlah negeri hingga sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta hapalan kaum muslimin yang datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai merasakan pentingnya mengumpulkan hadits dan menuliskannya karena ditakutkan ilmu-ilmu hadits Rasulullah SAW akan lenyap seiring berjalannya waktu dengan meninggalnya para sahabat Rasulullah SAW.[2]
Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian hadits??
2.      Bagaimana sejarah awal di bukukannya hadits??

BAB II PEMBAHASAN

PENGERTIAN HADITS
Kata al-hadits adalah kata mufrod, yang jama’nya adalah al-ahadits dan dasarnya adalah tahdits, artinya “pembicaraan”. Dari sisi bahasa, kata hadits memiliki beberapa arti, diantaranya ialah :
a. al-jadid, artinya : “yang baru”, lawan kata al-qadim artinya : “yang lama”, dalam arti ini menunjukan adanya waktu dekat dan singkat.
b. al-thariq artinya :”jalan”, yaitu
c. al-khabar, artinya :”berita”.
d. al-sunnah, artinya “perjalanan”.
Adapun menurut istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi sesuai dengan latar belakang disiplin keilmuan masing-masing, sebagaimana perbedaan antara ahli ushul dan ahli hadits dalam memberikan definisi al-hadits, yaitu:
a.       Ahli hadits:
اقوال النبي صلي الله عليه وسلم وافعاله واحواله
“segala perkataan Nabi saw, perbuatan dan hal ihwalnya”
ما اضيف الي النبي صلي الله عليه وسلم قولا او فعلا او تقريرا او صفة
“sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat beliau”
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa haidts meliputi biografi Nabi saw, sifat-sifat yang melekat padanya, baik berupa fisik maupun hal-hal yang terkait dengan masalah psikis dan akhlak keseharian Nabi, baik sebelum maupun sesudah terutus sebagai Nabi.
b.      Ahli Ushul:
اقوال النبي صلي الله عليه وسلم وافعاله وتقريراته التي تثبت الاحكام وتقررها
"Semua perkataan Nabi saw, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’ dan ketetapannya".
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan erat dengan hukum-hukum atau ketetapan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Ini berarti segala sesuatu selain hal yang telah disebutkan tidak masuk dalam pengertian hadits.


SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADITS
Dalam Islam kedudukan hadits sebagai sumber ajaran islam, menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Ia bukan saja menjadi penguat dan penjelas A-Qur’an, tetapi juga dijadikan sebagai dasar penetapan hukum baru yang tidak atau belum dijelaskan oleh a-Qur’an.
Mengingat posisinya yang demikian penting, semntara keberadaannya tidak seperti al-Qur’an yang sifatnya qath’iyyah al-wurud, maka tidak mengherankan jika kemudian hari keberadaannya menjadi sasaran serangan oleh mereka yang tidak senang terhadap islam(misalnya Goldziher, 1850-1912M) dengan meragukan akan keberadaan hadits berasal dari Rosulullah saw, bahkan Joseph Schacht(1902-1969M) menyatakan bahwa tidak satupun hadits yang otentik dari Nabi saw, khususnya hadits-hadits tentang hukum.
Selanjutnya di dalam kalangan Islam sendiri, ditemukan kelompok yang bisa dikenal dengan istilah inkarussunnah yang lahir di Mesir dan Irak, yang yidak menjadikan hadits sebagai sumber ajaran Islam. Hal ini membuat ilmu-ilmu hadits menampakkan titik urgensi dirinya dalam mempertahankan dan mempertanggung jawabkan otentitas hadits secara ilmiah, seperti ilmu rijal al-hadits, takhrij al-hadits, mushtalah hadits dan lain sebagainya.
Sedangkan untuk dapat mengetahui secara kronologis perkembangan hadits, mulai dari masa Nabi saw sampai pertengahan abad VII H, para ahli membaginya kedalam tujuh periode, yaitu:
Abad I H, terdiri dari tiga periode
Pertama, dikenal dengan sebutan “ashrul wahyi wattaqwim (عصر الوحي والتقوين), yaitu turun wahyu dan pembentukkan masyarakat Islam.
Kedua, yaitu masa Khulafa’ur Rasyidin yang dikenal dengan sebutan”zamanut tatsabbuti wal iqlali minarriwayah (زمن التثبت والاقلال من الرواية) yaitu masa pengokohan dan penyederhanaan riwayat.
Ketiga, masa sahabat kecil dan tabi’in besar, dikenal dengan sebutan “zaman intisyari riwayati ilal am-shar (زمن انتشار الرواية الى الامصار) yaitu masa tersebarnya riwayat-riwayat hadits ke kota-kota.
Abad II H termasuk periode ke empat, yaitu masa pemerintahan kholifah Umar bin Abdul Aziz, kemudian dikenal dengan sebutan “ashrul kitabi wattadwin (عصر الكتاب وتدوين),yakni masa penulisan dan masa mengkodifikasi hadits-hadits. Pada masa ini masih bercampur perkataan Nabi dengan perkataan sahabat.
Abad III H termasuk di dalamnya priode kelima, yang disebut dengan “ashruttajridi wattashrih watanqih”(عصر التجريد والتصريح وتنقه), yaitu masa penyaringan hadits dan pensyarahannya. Sedang orang pertama yang melakukan penyaringan hadits shohih ialah Ishak Ibn Rahawaih yang kemudian dilanjutkan oleh Imam al-Bukhori dengan kitab shohihnya, lalu dilanjutkan oleh muridnya bernama Imam Muslim.
Abad ke IV H yang pada umumnya disebut dengan istilah “ashru al-tahdzibi wa al-istidraki wa al-ajma’(iعصر التهديب والاستدراك والاجمع), yaitu masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan. Dalam abad ini telah masuk juga periode keenam.
A.    EKSISTENSI HADITS MASA NABI SAW.
Pada dasarnya masalah penulisan hadits pada masa Nabi saw sebagai periode awal, dapat dilihat dari adanya dua bentuk riwayat atau hadits, yaitu :
Pertama: riwayat yang menerangkan adanya larangan penulisan hadits.
Kedua: riwayat hadits tentang kebolehan menulis hadits.
Dalam menanggapi dua macam hadits tentang larangan dan kebolehan tersebut, diantara para ulama’ berbeda pandangan, yaitu:
a)      Imam al-Bukhori dan lainnya bependapat bahwa hadits tentang larangan menulis hadits diatas adalah mauquf, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
b)      Al-Romahrumuzi mengatakan bahwa larangan tersebut terjadi pada masa permulaan Islam, dan keadaan umat islam masih sangat sedikit yang bisa menulis dan belum dapat membedakan antara al-Qur’an dan hadits, sehingga beliau saw khawatir akan terjadinya percampuran.
c)      Dan masih banyak lagi ulama’ yang berpendapat tentang larangan dan kebolehan menulis hadits.
B.     EKSISTENSI HADITS MASA SAHABAT DAN TABI'IN.
Periode ini terjadi pada masa khulafa’urrasyidin atau masa sahabat besar. Dalam masa ini , masalah penulisan hadits belum dianggap suatu hal yang mendesak untuk dilaksanakan, hadits masih tetap dihafalkan dan upaya-upaya penulisan masih dianggap mengkhawatirkan akan menganggu perhatian mereka terhadap penulisan al-Qur’an lantaran keterbatasan tenaga dan sarana.
Dari faktor itulah , Abu Bakar sebagai kholifah pertama mengeluarkan kebijakan tidak mengizinkan para sahabat menulis haidts dan beliau tidak akan menerima hadits tersebut apabila tidak mendatangkan saksi, bahkan beliau memerintahkan untuk membakar 500 buah haidts yang telah dicatatnya.
Selanjutnya , melihat adanya faktor kekhawatiran perhatian para sahabat terhadap progam penulisa al-Qur’an terganggu, lalu niat Umar bin Khatab untuk membuat progam penulisan hadits dibatalkan, apalagi mayoritas sahabat tidak sepakat dengan usaha tersebut.
Sekalipun demikian, penulisan haidts tetap saja dilakukan oleh para sahabat, diantaranya ialah Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Tholib dan ‘Aisyah dan lainnya.
Dengan demikian dapatlah difahami bahwa semangat para sahabat dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat lain saat itu terlihat sangat tinggi, sekalipun kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah sangat hati-hati dan teliti, sehingga seorang yang telah menerima hadits tidak harus menyampaikannya kepada orang lain kecuali diperlukan.
Semangat yang tinggi dari para sahabat dalam menyampaikan hadits lebih disebabkan adanya dorongan yang kuat untuk selalu menyebarluaskan ajaran Islam sesuai dengan perintah Nabi saw. Sekalipun demikian, yang perlu diperhatikan adalah sikap kehati-hatian penerimaan dan penyampaian hadits dengan waspada dan meneliti lebih dahulu apakah benar dari Rosulullah, sehingga setiap apa yang didengar harus difahami dan di mantabkan baru kemudian disampaikan kepada yang lain.
C.     EKSISTENSI HADITS PADA ABAD II H.
Pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya, hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda, sebab pada masa ini al-Qur'an sudah terkumpul dalam mushaf, sedang para periwayat hadits dari kalangan sahabat sudah tersebar diberbagai daerah, apalagi setelah pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah.
Kemudian ketika pemerintahan dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz terbentuk lembaga kodifikasi hadits secara resmi[3], dengan melalui instruksinya kepada para pejabat pemerintahan yang ada di daerah-daerah.
Sedangkan yang melatarbelakangi kholifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadits pada waktu itu antara lain :
1.      Banyak penghafal hadits yang meninggal dunia, baik karena sudah lanjut usia maupun gugur sebagai pahlawan perang.
2.      Al-Qur'an sudah berkembang begitu luas dalam masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi mushaf, karenanya tidak perlu dikhawatirkan lagi hadits bercampur dengan al-Qur'an.
3.      Islam telah mulai melebarkan syi'arnya melampaui jazirah arab, maka hadits sangat diperlukan sebagai penjelas al-Qur'an[4].
Dari kenyataan itulah, maka pada masa ini dikenal dengan sebutan masa pembukuan/'ashr al-tadwin, sehingga pada abad II H ini tersusunlah kitab-kitab koleksi hadits dari para kolektornya.
D.    EKSISTENSI HADITS PADA ABAD III H.
Masa ini disebut dengan masa 'ashruttajjridi watashrih watanqih, yaitu masa penyaringan pensyarahan hadits, terutama pada masa pemerintahan dipegang oleh dinasti Abbasiyyah, mulai dari alMa'mun sampai al-Muqtadir.
Hal tersebut dilakukan lantaran masa sebelumnya belum berhasil melakukan pemisahan beberapa hadits mauquf dan maqthuk dari hadits marfu', hadits dla'if dari hadits shahih, bahkan terkesan hadits mudlu' bercampur dengan hadits shahih.
Sekalipun keadaan umat Islam saat itu sedang menghadapi ujian dan fitnah yang sangat hebat, lahirlah ulama besar. Dengan ketekunan dan semangat dalam usaha untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dengan berbagai cara, sehingga masa ini dianggap sebagai masa paling sukses dalam menjalankan progam pembukuan hadits, sebab mereka telah berhasil dalam beberapa hal:
a). Memisahkan hadits-hadits Nabi dari yang bukan hadits( fatwa sahabat dan tabi'in) melalui kaidah-kaidah yang elah ditetapkan.
b). Mengadakan penyaringan secara ketat terhadap apa saja yang dikatakan hadits Nabi dengan melakukan penelitian pada matan dan matarantai sanadnya, sekalipun dalam penelitian selanjutnya masih ditemukan terselipnya hadits yang dlo'if pada kitab-kitab shahih karya mereka.
E.    EKSISTENSI HADITS PADA ABAD IV H.
            Perlu diketahui bersam bahwa pada masa ini, ditemukan perbedaan yang mencolok dalam meletakkan sistem penulisan karya ilmiah, khususnya dalam bidang hadits, sebab pada masa ini sudah terjadi pemisahan dua pola dan sistem pemikiran di kalangan para ulama, bahkan menjadi awal terjadinya pemisahan antara kelompok ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin, yaitu :
       a). Mutaqaddimin ialah ulama' yang hidup sebelum tahun 300 H.
                        Sistem penulisan hadits-hadits mereka dalam kitab-kitab koleksinya dengan menggunakan pola mendengar hadits langsung dari para guru mereka, lalu melakukan penelitian sendiri terhadap matan hadits dan perawinya.
b). Mutaakhirin, yaitu ulama' yang hidup setelah tahun 300 H.
                        Sistem penulisan hadits-hadits koleksi mereka dalam kitab-kitab koleksinya menggunakan pola menghimpun hadits-hadits dengan tetap berpegang pada kitab-kitab koleksi hadits yang sudah ada, sehingga usaha mereka terbatas hanya pada penyusunan hadits-hadits secara lebih sistematis atau hanya membuat resume atau mensyarahi kitab-kitab yang sudah ada.
                        Sekalipun demikian, pada abad ke III dalam periode ke-IV ini masih saja ditemukan ulama' yang kualitasnya seperti ulama' sebelumnya, artinya memiliki kemampuan untuk menghimpun hadits-hadits atas usaha sendiri tanpa mengutip dari kitab-kitab yang sudah ada, meski jumlahnya tidak banyak, seperti:
-          Al-Hakim dengan karyanya al-Mustadrak 'Ala al-Shahihaini.
-          Al-Daro Quthni, karyanya al-Ilzamat.
-          Ibnu Hibban, karyanya al-Musnad al-Shahih dan al-Anwa' wa al-Taqasim.
-          Al-Thabari, karyanya al-Mu'jam.
F.       EKSISTENSI HADITS PADA ABAD V SAMPAI SEKARANG.
Perlu diketahui bahwa pada tahun 656 H, pemerintahan Abbasiyyah pindah ke tangan bangsa Turki dengan pusat pemerintahannya pindah ke Kairo, Mesir, kemudian pada akhir abad ke VII H, semua daerah Islam dapat dikuasainya kecuali daerah barat Maroko, bahkan pertengahan abad ke IX H berhasil merebut kota Constatinopel dan Mesir, dan sejak itulah raja Turki menggunakan sebutan khalifah.
Akan tetapi setelah imperalisme politik divide et empire menaklukan Isalm, umat Islam menjadi budak sehingga membuat umat Islam minder bahkan para ulama' tidak dapat bebas melakukan komunikasi dengan yang lain.
Berhubungan dengan situasi dan kondisi seperti itu, penyampaian ajaran Nabi saw tidak dapat dilakukan secara langsung melalui lisan, sehingga sistem surat menyurat dan ijazah dipakai oleh mereka, akibatnya kegiatan penelitian terhadap para perawi hadits terhenti.
Sekalipun demikian, masih saja ditemukan ulama' yang berani berkunjung ke berbagai daerah untuk mendeteksi hadits dengan cara duduk di dalam masjid di setiap hari jum'ah, lalu menguraikan hadits tentang nilai dan kandungan sanadnya kepada para jama'ah dan para jama'ah mencatatnya, seperti yang dilakukan oleh Zainuddin al-'Iraqy(w 806b H), Ibnu Hajar(w 858 H), al- Syakhawi(murid Ibnu Hajar).

BAB II PENUTUP
KESIMPULAN
Dari hasil penyusunan makalah ini dapat di simpulkan bahwa pengertian Hadits ialah sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan ketetapan, atau yang lain misalnya berkenaan dengan sifat fisik, budi pekerti dan sebagainya. Sunnah adalah aktifitas Nabi Saw yang yang di laksanakan secara terus menerus dan di lestarikan oleh para sahabat. Khobar adalah segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat. Atsar adalah berarti sesuatu yang hanya tertentu pada apa yang datang dari sahabat dan sebawahnya. Hadis Qudsi adalah apa apa yang dihubungkan oleh rosulullah kepada Allah selain al quran. Atau seperti perkataan sahabat yang menyebutkan “bahwa Rasulullah saw bersabda dari apa yang beliau riwayatkan dariTuhannya.”[5]
Sebagai kesimpulan bahwa adanya larangan untuk menulis hadits pada masa wahyu masih turun, adalah merupakan sikap kehati-hatian Rasulullah dalam menjaga kemurnian al-qur’an yang diikuti oleh para Khulafa Rasyidin dengan memberikan batasan secara ketat dalam penulisan hadits. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan menulis hadits. Itupun dalam rang memenuhi kebutuhan ummat akan suatu permasalah agama yang belum diketahui. Sehingga kita dapat melihat kegiatan tulis-menulis hadits lebih pada surat kepada Sahabat yang lain. Ataupun hadits-hadits Nabi ditulis sebagai koleksi pribadi Sahabat.[6]
 
 DAFTAR PUSTAKA
Ma'shum Zein Muhammad, 2007, Ulumul Hadits & Mustholah Hadits
Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qablat Tadwin,(Beirut, Libanon, Maktabah Dar al-Fikr, Cet: 1997)
http://aernieel.blogspot.com/2013/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
http://makalah-berbagi.blogspot.com/2012/05/makalah-ulumul-hadits-sejarah-penulisan.html


[1] http://aernieel.blogspot.com/2013/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
[2] http://makalah-berbagi.blogspot.com/2012/05/makalah-ulumul-hadits-sejarah-penulisan.html
[3] Ajjaj, Ushul...Op-Cit, hal:172
[4] Ajjaj, Ushul...Op-Cit, hal:185
[5] http://aernieel.blogspot.com/2013/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
[6] http://makalah-berbagi.blogspot.com/2012/05/makalah-ulumul-hadits-sejarah-penulisan.html

1 komentar: