Minggu, 10 November 2013

Eksistensi HAM Dalam Sistem Hukum Di Indonesia




BAB I

PENDAHULUAN
  1. A. Latar Belakang.
Hak Asasi Manusia berkembang dan dikenal oleh dunia hukum modern sekitar abad 17 dan 18 di Eropa. HAM tersebut semula dimaksudkan untuk melindungi individu dari kekuasaan sewenang-wenang penguasa (raja). Namun dalam perkembangannya HAM bukan lagi milik segelintir orang, melainkan hak semua orang (universal) tanpa terkecuali. Atas dasar kesadaran itulah dilahirkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights (UDHR)) tahun 1948.
Di Indonesia, pemahaman HAM sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat ditelusuri  melalui studi terhadap sejarah perkembangan HAM yang dimulai dari zaman pergerakan hingga sekarang, yaitu ketika amandemen terhadap UUD 1945 yang secara eksplisit memuat pasal-pasal HAM. Seperti halnya konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia (Konstitusi RIS dan UUDS 1950), UUD 1945 amandemen juga memuat pasal-pasal tentang HAM dalam kadar dan penekanan yang berbeda, disusun secara kontekstual sejalan dengan suasana dan kondisi sosial dan politik pada saat penyusunannya. Penyusunan muatan HAM dalam amandemen kedua UUD 1945 tidak terlepas dari situasi sosial dan politik yang berkembang dan nuansa demokratisasi, keterbukaan, pemajuan dan perlindungan HAM serta mewujudkan negara berdasarkan hukum.
B. Pokok Permasalahan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis akan membahas dalam makalah ini, yakni:
  1. Bagaiamana Eksistensi Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum di Indonesia?
  2. Apa sajakah yang dapat mempengaruhi Eksistensi Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pengaturan HAM di Indonesia
Pembicaraan mengenai HAM , pada awalnya dikenal di dunia Barat. Dimulai dari abad XVII yang merupakan tonggak dikonsepkannya hak asasi manusia yang bersumber dari  hak kodrat yang mengalir dari hukum kodrat dengan  hak politik. Pada abad XVIII Hak-hak kodrat dirasionalkan dalam kontrak sosial dan mulai dipikirkan tentang kebebasan sipil individualisme kuantitatif. Pada abad XX berkembang adanya konversi hak-hak asasi manusia yang sifatnya kodrat menjadi hak-hak hukum (positif) dan hak-hak sosial (sosiale grondrechten). Pada masa ini munculnya Piagam PBB1.
Sebagai salah satu negara anggota PBB, mewajibkan Indonesia melakukan ratifikasi instrumen HAM Internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia. Pengaturan HAM dalam UUD 1945 sebelum amandemen belum tercantum secara transparan.  Setelah dilakukannya amandemen I sampai dengan amandemen IV UUD 1945, ketentuan tentang HAM tercantum dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J[1].
Perkembangan demokrasi dan HAM pada era orde baru belum berjalan dengan baik. Meski demikian terdapat beberapa peraturan yang menyangkut tentang HAM yang lahir pada masa orde baru. Hal tersebut lebih disebabkan faktor keanggotan Indonesia sebagai anggota PBB, penghormatan terhadap Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas Hukum telah menetapkan:[2]
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
  2. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-Hak Anak,
  3. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.
B. Eksistensi HAM dalam Sistem Hukum di Indonesia
Membahas mengenai sistem hukum Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di dunia. Terdapat beberapa sistem hukum di dunia yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia, diantaranya civil law system, Common Law Sistem dan Religion Law Sistem atau Sistem Hukum Islam. Terlepas dari sistem hukum yang dianut dalam negara Indonesa, hal yang terpenting dalam pengaturan HAM di Indonesia adalah kemauan politik pemerintah.
Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia akan menjadi cepat dicapai kalau diawali dari tertib politik dalam setiap negara. Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan kemauan untuk menegakkan HAM dapat menjadi masalah. Ketika hal ini menjadi bagian dari kemauan pemerintah internal, benturan dalam masyarakat bisa saja terjadi, khususnya antara suprastruktur dan infrastruktur. Konflik terjadi sebagai akibat adanya perbedaan titik tekan prioritas. Kalau prioritas ditekankan kepada stabilitas dengan alasan memperkuat lebih dahulu basis ekonomi, pemberian HAM dapat dinomor duakan. Sistem politik sentralistik yang menerapkan sistem ini. Sebaliknya, sistem politik demokrasi dapat memberikan kebebasan dan menjamin Hak Asasi. Ketentraman dan kepuasan batin warga menjadi prioritas utama. Aturan hukum yang diciptakan cukup akomodatif1. 
Menurut Lawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat tiga unsur dalam sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture).[3]
C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSISTENSI HAM DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA.
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka bahwa perkembangan HAM di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasang surut HAM yang dialami bangsa ini yang dimulai sejak era kemerdekaan (1945) hingga sekarang, telah mengalami banyak kemajuan. Bergulirnya reformasi (1998) dijadikan tonggak awal bangkitnya HAM di Indonesia, terlepas dari penyelesaian kasus HAM yang belum maksimal.
Pembentukan negara adalah manifestasi keinginan untuk melindungi HAM. Sebagaimana telah dijabarkan dalam konstitusi bahwa negara memperoleh kekuasaan dari warga negara sebagai pemegang kedaulatan semata-mata untuk memenuhi dan melindungi hak asasi warga negara. Dengan demikian negara kemudian dipresentasikan oleh aparatur negara memiliki kewenangan sebagai pemberian jaminan perlindungan dan penghormatan HAM sebagai bagian hak konstitusi warga negara. Akan tetapi, alasan melindungi hak asasi, negara justru sebaliknya, seringkali mengabaikan hak-hak itu dan bahkan melanggar HAM.
Pasang surutnya HAM dalam sistem hukum di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor sosial budaya, tendensi politik dan berbagai kepentingan individu serta kelompok yang terlalu dominan dalam terciptanya HAM di Indonesia. Dari beberapa faktor tersebut tendensi politik rezim yang berkuasa menempati posisi yang penting. Tendensi politik sangat menentukan pengakuan HAM yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan dilapangan.
Tendensi politik penguasa yang diformulasikan sedemikian rupa sehingga menjadi kehendak negara. Apabila sudah menjadi kehendak negara maka akan dengan mudah penguasa melalui kekuasaan yang dimilikinya membelokan kepentingan masyarakat dan menggantikannya dengan kepentingan penguasa.
Relasi yang sangat erat antara produk hukum sebagai proses politik hukum dengan kepentingan politik dalam penyusunan undang-undang di DPR. DPR yang terdiri dari beragam partai politik yang masing-masing memiliki agenda politik tertentu, yang dalam banyak proses penyusunan undang-undang digunakan sebagai kerangka berpikir dalam meloloskan suatu undang-undang. Bila undang-undang yang diajukan pemerintah tidak menguntungkan bagi mereka, mereka berupaya agar undang-undang itu diubah atau tidak diloloskan, demikian juga sebaliknya.[4]
Kepentingan politik penguasa dalam pembentukan suatu produk perundang-undangan terjadi hampir setiap rezim/era yang berkuasa di Indonesia. Kepentingan politik ini juga terjadi pada penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai HAM. Secara sepintas penulis akan mencoba memaparkan kondisi politik yang terjadi pada penyusunan produk perundang-undangan tentang HAM dari setiap rezim/era yang berkuasa, yakni:
  1. Sebelum kemerdekaan (1908 – 1945)
Timbulnya kesadaran akan pentingnya pembentukan suatu bangsa (nation state). Pada awal masa pergerakan, konsep HAM yang mengemuka adalah konsep-konsep mengenai hak atas kemerdekaan, dalam arti hak sebagai bangsa merdeka yang bebas menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Pada masa ini juga dibicarakan HAM bidang Sipil, seperti hak untuk bebas dari diskriminalisasi dalam segala bentuknya dan hak untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat.[5] Perkembangan pemikiran tentang HAM dari organisasi seperti Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Serekat Islam, maupun partai politik seperti, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, yang ada dimasa ini mewakili paham yang dianut yaitu kebangsaan dan nasionalisme, agama dan komunisme.
Faktor politik yang dominan dalam munculnya pergerakan ini, lebih disebabkan oleh kemenangan Jepang atas Rusia pada peperangan di sekitar Laut Kuning tahun 1905 yang telah membangkitkan kesadaran bahwa kemampuan bangsa kulit kuning tidak berada di bawah bangsa kulit putih. Kemenangan Jepang tersebut mempengaruhi pandangan-pandangan kaum intelektual Hindia Belanda mengenai kemampuan pribumi untuk melepaskan diri dari penjajah dan akhirnya memproklamasikan kemerdekaan dengan mendirikan suatu negara kebangsaan (nation state).[6] Orde Lama (1945 – 1966)
Pergolakan politik yang muncul dalam penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai HAM pada awal kemerdekaan, yakni dalam penyusunan dasar negara, sistematika UUD, muatan materi, dan lain-lain. Dalam penyusunan UUD terjadi perdebatan perlu tidaknya pencantuman HAM dalam Rancangan UUD. Hasil dari rapat BPUPKI menyimpulkan bahwa pemuatan HAM dalam UUD 1945 merupakan hasil kompromi antara pemikiran yang memandang tidak tepat memuat ketentuan HAM dalam UUD dan pemikiran yang berpendapat bahwa sudah sewajarnya UUD memuat ketentuan mengenai HAM.
Pemikiran HAM pada awal kemerdekaan sangat kuat mempengaruhi kehidupan tatanegara Indonesia. Terutama dampak dari adanya tuduhan pihak Belanda beserta sekutu-sekutunya yang menilai Pemerintah Indonesia yang baru berdiri tidak demokratis, diktator dan merupakan boneka Jepang sehingga semakin mengentalkan pemikiran tentang HAM.[7]
HAM semakin mendapat posisi pada masa berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950. Hal tersebut ditandai dengan berdirinya partai politik dengan beragam ideologi, kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi, berlangsungnya PEMILU 1955, berjalannya fungsi DPR sebagai representasi dengan melakukan kontrol/pengawasan terhadap eksekutif. Faktor politik yang dominan ini tidak terlepas dari pengaruh demokrasi liberal/parlementer.
Perjalanan HAM mulai surut sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1966 dan penerapan sistem politik demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno. Pada era ini, supra struktur politik maupun infra struktur politik berada dibawah kontrol/kendali dan tindakan represif presiden. Dalam prespektif pemikiran HAM, terutama hak Sipol, sistem politik demokrasi terpimpin tidak memberikan keleluasaan terhadap kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Pemikiran tentang HAM dihadapkan pada restriksi atau pembatasan yang ketat oleh kekuasaan, sehingga mengalami kemunduran sebagai sesuatu yang berbanding terbalik dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer.[8]
2.      Orde Baru (1966 – 1998)
Pergantian rezim orde lama ke rezim orde baru ternyata tidak membawa dampak besar bagi perkembangan HAM di Indonesia. Meski pada awal orde baru telah muncul wacana mengenai perlu dibentuknya pengadilan HAM pada tahun 1967. HAM mengalami kemunduran di era orde baru pada masa-masa setelah tahun 1970. Masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada situasi dan keadaan dimana HAM tidak dihormati, tidak dilindungi bahkan tidak ditegakkan. Hal ini disebabkan oleh pemikiran para elite kekuasaan terhadap HAM sebagai produk Barat dan bersifat Individualis. Sehingga prinsip tersebut bertentangan dengan program pemerintah orde baru yang sedang memacu pembangunan ekonomi dengan menggunakan slogan pembangunan, yang secara tidak langsung menimbulkan pemikiran bahwa segala upaya pemajuan dan perlindungan HAM dianggap sebagai penghambat pembangunan. Pemerintah bersifat defensif yang tecermin dari berbagai produk hukum yang dikeluarkan pada orde baru, yang pada umumnya bersifat restriktif terhadap HAM. Banyaknya peristiwa pembunuhan massal, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang tanpa proses pengadilan terhadap ribuan anggota PKI dan simpatisannya pada awal pemerintahan orde baru serta masih banyak lagi pelanggaran HAM baik berat maupun ringan yang dilakukan pada saat  berkuasanya orde baru.
Pemerintahan Soeharto memperkenalkan Demokrasi Pancasila yang mendasarkan pandangannya mengenai HAM dengan menggunakan konsepsi Negara Integralistik sebagaimana pernah diungkapkan Soepomo pada masa-masa pembahasan naskah UUD, yang tampak lebih mengedepankan kewajiban daripada hak.[9]
Sikap pemerintah orde baru yang cendrung represif terhadap HAM, pada tahun 1993 berubah seiring dengan munculnya berbagai tekanan dari masyarakat internasional kepada pemerintah. Pengurangan tindakan represif pemerintah ditandai dengan adanya pembatasan penggunaan UU Subversi, pendirian Komna HAM (meskipun hanya dengan berdasarkan Keppres), pendirian lembaga-lembaga pengawas pemilihan umum, namun lembaga pemantauan pemilu adalah lembaga asing.
Perubahan perilaku dan retorika Pemerintah dalam bidang HAM mulai tampak terlihat ditandai dengan sikap yang lebih kooperatif dan mulai diterimanya standar HAM internasional dalam berbagai konprensi internasional HAM yang diikuti oleh Indonesia. Diakhir masa pemerintahan orde baru, konsep pemikiran HAM tampaknya mulai bergeser dari partikularisme ke arah universalisme.
3.      Reformasi (1998 – sekarang)
Pada era reformasi ini, telah terjadi pengkajian ulang terhadap kebijakan-kebijakan serta pengaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan HAM. Pemerintah telah menerima norma-norma internasional, baik melalui ratifikasi maupun institusionalisasi norma-norma HAM internasional ke dalam sistem hukum nasional. Telah tumbuhnya pemahaman dan kesadaran bahwa sesungguhnya HAM sebagai hak dasar yang ada pada setiap manusia bukanlah sesuatu hal yang baru, serta tumbuhnya keinsyafan bahwa HAM merupakan suatu tuntutan yang berhak dituntut diperjuangkan dan dipertahankan untuk dijamin, dilindungi dan dihormati.[10]
Pelaksanaan asas demokrasi yang baik dalam era reformasi ini membawa pengaruh besar bagi perkembangan HAM di Indonesia. Demokrasi yang berintikan kebebasan dan persamaan sering dikaitkan dengan berbagai unsur dan mekanisme. Demikian pula paham negara berdasarkan atas hukum. Salah satu ciri unsur itu adalah jaminan perlindungan dan penghormatan terhadap HAM. Jaminan, perlindungan dan penghormatan HAM tidak mungkin tumbuh dan hidup secara wajar apabila tidak ada demokrasi dan tidak terlaksananya prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum. Sehingga hubungan antara HAM, demokrasi, dan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum harus dilihat dalam hubungan keseimbangan yang simbiosis mutualistik.[11]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pokok permasalahan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa:
  1. Eksistensi HAM dalam Sistem Hukum di Indonesia telah ada sejak awal kemerdekaan yang dibuktikan dengan pencantuan muatan HAM dalam Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945 (meskipun secara implisit/tersirat). Eksistensi HAM baru mendapat tempat yang luas sejak turunnya orde baru dan berganti pada era reformasi. Eksistensi HAM dalam era reformasi telah tercantum secara eksplisit/tersurat dalam UUD 1945 Amandemen Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Disamping tertuang dalam konstitusi, HAM juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia serta Peraturan perundang-undangan lainya yang didalamnya memuat ketentuan yang berkaitan dengan HAM, baik secara eksplisit maupun implisit. HAM pada era reformasi digunakan sebagai dasar bagi tindakan aparat penegak hukum maupun aparatur negara dalam malayani masyarakat.
  2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Eksistensi Hak Asasi Manusia dalam Sistem Hukum di Indonesia, adalah sosial budaya, tendensi politik dan berbagai kepentingan individu serta kelompok yang terlalu dominan dalam terciptanya HAM di Indonesia. Dari beberapa faktor tersebut tendensi politik rezim yang berkuasa menempati posisi yang penting. Tendensi politik sangat menentukan pengakuan HAM yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan dilapangan. Tendensi politik penguasa yang diformulasikan sedemikian rupa sehingga menjadi kehendak negara. Apabila sudah menjadi kehendak negara maka akan dengan mudah penguasa melalui kekuasaan yang dimilikinya membelokan kepentingan masyarakat dan menggantikannya dengan kepentingan penguasa.

 DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor.
Bagir Manan, 2006, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Alumni, Bandung.
Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung.
Mansyhur Effendi, 2005, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan.
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Cetakan ke V, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Satya Arinanto, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Cet. II, Pusat Studi Hukum Tata Negara , Jakarta.
2008, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Di Indonesia, Cetakan ke III, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Terjemahan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Sukamto Satoto, 2004, Pengaturan Eksistensi dan Fungsi Badan Kepegawaian Negara, Offset, Yogyakarta.
Makalah
Bagir Manan, Aktualisasi Hak Asasi Manusia di Indonesia, Makalah dipresentasikan pada Diskusi Panel “Menyongsong Abad 21 sebagai Abad Hak Asasi Manusia”, diselenggarakan oleh Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM) FH Unpad, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum (Puslitbangkum) Lembaga penelitian Unpad, 12 Desember 1998.
Hartati, 2010, Bahan Kuliah Hukum Hak Asasi Manusia, Universitas Jambi Program Pascasarjana Program Magister Ilimu Hukum, Jambi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Istimewa Tahun 1998, Sekretaris Jenderal MPR RI, Jakarta.


[1] Muladi, Op.Cit, hal., 3.
[2] Ibid, hal., 4.
[3] Achmad Ali, Loc.Cit
[4] Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, Op.Cit., Hal., 81.
[5] Bagir Manan, Op.Cit., Hal.,222.
[6] Ibid., Hal., 6.
[7] Ibid., Hal., 29.
[8] Ibid., Hal., 40.
[9] Ibid., Hal., 49.
[10] Bagir Manan, Aktualisasi Hak Asasi Manusia di Indonesia, Makalah dipresentasikan pada Diskusi Panel “Menyongsong Abad 21 sebagai Abad Hak Asasi Manusia”, diselenggarakan oleh Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM) FH Unpad, Pusat Penelitian Perkembangan Hukum (Puslitbangkum) Lembaga penelitian Unpad, 12 Desember 1998, Hal., 1.
[11] Ibid., Hal., 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar