Qiva: “Ayah, Islam itu apa sih..?”
Qiya: “Islam itu ya.. agama kita, yang menyuruh kita untuk shalat, puasa, dan menyembah Allah.”
Qiva: “Emang cuma itu, Yah?”
Qiya: “Islam itu ya.. agama kita, yang menyuruh kita untuk shalat, puasa, dan menyembah Allah.”
Qiva: “Emang cuma itu, Yah?”
Saya diam sesaat, sambil memerhatikan tingkah lucu Si Kembar di
hadapan saya. Bagi kami, perbincangan ini kerap terjadi. Kapan saja, di
mana saja. Sesuatu yang menggelitik akal mereka seringkali ditanyakan.
Kali ini, untuk menjawab pertanyaan Qiva, saya belum ingin
menjabarkan apa itu Islam versi sebuah hadits yang menengahkan kisah
Jibril yang datang menanyakan Islam pada Nabi Saw. saat dikelilingi para
sahabatnya. Saya juga belum ingin menjabarkan hal-hal yang dirasa ribet
dan njelimet, meski suatu saat mereka musti memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang rasional dan komprehensif berdasarkan dalil-dalil yang
jelas.
Saya pikir, bagi anak SD kelas satu seperti mereka, tentunya sebuah
jawaban haruslah yang sederhana, mudah dicerna, dan dekat sekali dengan
alam pikir mereka.
Saya: “Islam itu artinya berserah diri kepada Allah, selamat atau damai..”
Qiva: “Kok damai, Yah?”
Qiya: “Maksudnya apa?”
Saya: “Maksudnya, kalau keberadaan Teteh dan Kaka (sebutan untuk Qiya dan Qiva) tidak membuat damai orang lain, maka Teteh dan Kaka bukanlah orang Islam.”
Qiva: “Jadi, kalau Kaka jahatin teman, mukul misalnya, berarti Kaka tidak membuat kedamaian. Begitu, Yah?”
Qiya: “Tapi kalau kita yang dipukul, dijahatin, kita enggak boleh marah, Yah?”
Qiva: “Ya, enggak boleh dong, Teh.. kalau kita marah, berarti kita tidak membuat kedamaian. Kalau marah biarin aja, doakan dia supaya jadi orang yang baik tidak jadi pemarah. Kan Ayah pernah bilang begitu, ya?”
Qiya: “Tapi kalau kita ngomongin orang lain, boleh gak?”
Saya: “Kira-kira menurut Teteh?”
Qiya: “Enggak..”
Saya: “Kenapa?”
Qiya: “Soalnya Teteh aja kalau diomongin yang jelek-jelek sama teman kan gak suka. Mungkin begitu juga sama teman-teman.”
Qiva: “Kalau kita ngomongin teman kan berarti kita juga enggak membuat damai hati teman kita itu. Iya kan, Yah?”
Qiya: “Berarti kita bukan orang Islam dong..”
Qiva: “Kok damai, Yah?”
Qiya: “Maksudnya apa?”
Saya: “Maksudnya, kalau keberadaan Teteh dan Kaka (sebutan untuk Qiya dan Qiva) tidak membuat damai orang lain, maka Teteh dan Kaka bukanlah orang Islam.”
Qiva: “Jadi, kalau Kaka jahatin teman, mukul misalnya, berarti Kaka tidak membuat kedamaian. Begitu, Yah?”
Qiya: “Tapi kalau kita yang dipukul, dijahatin, kita enggak boleh marah, Yah?”
Qiva: “Ya, enggak boleh dong, Teh.. kalau kita marah, berarti kita tidak membuat kedamaian. Kalau marah biarin aja, doakan dia supaya jadi orang yang baik tidak jadi pemarah. Kan Ayah pernah bilang begitu, ya?”
Qiya: “Tapi kalau kita ngomongin orang lain, boleh gak?”
Saya: “Kira-kira menurut Teteh?”
Qiya: “Enggak..”
Saya: “Kenapa?”
Qiya: “Soalnya Teteh aja kalau diomongin yang jelek-jelek sama teman kan gak suka. Mungkin begitu juga sama teman-teman.”
Qiva: “Kalau kita ngomongin teman kan berarti kita juga enggak membuat damai hati teman kita itu. Iya kan, Yah?”
Qiya: “Berarti kita bukan orang Islam dong..”
Saya hanya tersenyum mendengar Si Kembar saling tanya dan saling
jawab. Saat-saat seperti inilah yang membahagiakan saya dan isteri,
memanfaatkan secuil kesempatan bersama mereka di tengah kesibukan kami
mencari sebongkah berlian (kata Wali). Dalam setiap tidur mereka, saya
kerap mengajak isteri untuk mengecup kening dan pipi seraya membisikkan
untaian doa dan motivasi di telinga mereka:
“Nak, jadilah perempuan-perempuan tangguh dan salehah yang selalu
rajin bersyukur dan pandai bersabar. Jadilah anak-anak yang selalu
sayang kepada Allah dan nabi-Nya. Jadilah kalian kebanggaan ayah-bunda,
sayang kepada adik, dan sayang kepada semua orang di sekelilingmu. Nak,
benamkan Iman dalam jiwamu, kibarkan Islam dalam setiap pikir, tutur,
dan tingkah lakumu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar